Mengendus Jejak Bangsa Turki dan Lada Sicupak di Bumi Nurul A’la

 


BANDA ACEH-Momentum Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke 8 yang dipusatkan Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh, memiliki nilai khas tersendiri. Hal tersebut sebagaimana terlihat di Anjungan Kabupaten Aceh Timur yang memamerkan sejumlah senjata perang kuno. Salah satunya Meriam Turki atau sering disebut Meriam Lada Sicupak.

Meriam Turki atau sering disebut Meriam Lada Sicupak paling diburu oleh para pengunjung saat ke anjungan Kabupaten Aceh Timur.

Meriam Lada Sicupak menyimpang berjuta kenangan bagi para laskar Aceh saat melawan tentara belanda dan kaum kolonial protugis pada tahun 700 M, ketika memasuki Aceh melewati lautan Peureulak. Meriam tersebut diberinama dengan sebutan “Meriam Lada Sicupak” yang dibeli dari Negeri Turki.

Meriam sepanjang lebih kurang dua meter tampak perkasa yang dibawah anjungan Kabupaten Aceh Timur.

Sebelum Meriam Turki tersebut ditemukan oleh seorang penemu yaitu Tgk Muhammad Ben Wahab (almarhum_red), tepatnya pada hari selasa, Tanggal 12 Desember 1976.

Pada masa Panglima Nyak Dum merupakan panglima yang diutus Sulthan Iskandar Muda untuk menjalin hubungan dengan Turki dan meminta bantuan militer untuk memerangi protugis.

H. M. Zainuddin dalam buku Singa Aceh, ia menjelaskan hubungan Kerajaan Aceh denga Turki pertama kali dibangun oleh Sulthan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah dari Tahun 1557-1568 dengan Sulthan Salim Khan.

Pada masa itu, Sulthan Salim Khan mengikat perjanjian persahabatan dengan kerajaan Aceh dan mengirim sekitar 40 orang ahli alteleri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.

Perjanjian persahabatan itu kemudian dilanjutkan oleh raja Aceh, selanjutnya Sulthan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1588. Masa itu Turki menjamin dan melindungi kerajaan Aceh dari ganguan pihak lain.

Kemudian, ketika tahta turki dipegang oleh Sulthan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan oleh Sulthan Aceh berikutnya, Sulthan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukamil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Pada masa itu Sulthan Mustafa Khan mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sulthan Aceh, serta mengizinkan kapal-kapal perang kerajaan Aceh memakai bendera Turki.

Kala itu Aceh dipimpin Sulthan Iskandar Muda, hubungan dengan turki agak merengang karena Iskandar Muda masa itu lebih Fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam perang disemenanjung Malaka.

Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, Sulthan Iskandar Muda membuka kembali hubungan dengan Turki yang selama beberapa tahun sudah agak merengang.

Pada masa itu Sulthan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke raja Turki sebagai persembahan dari Aceh. Sulthan Iskandar Muda Juga meminta kepada Mufti Kerajaan Syeikh Nurddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk Surat dalam Bahasa Arab.

Kemudian surat itu disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan.

Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nurddin Ar Raniry, satu ahli bahasa arab dan satu orang lagi ahli bahasa indi.

Menurut H. M. Zainuddin, Panglima Nyak Dum merupakan sosok pemberani yang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Panglima Nyak Dum juga fasih dalam berbahasa arab, maka ditunjuk sebagai ketua rombongan.

Dalam perjalanan, ketiga kapal utusan Aceh tersebut terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras namun terbawa angin ke Calcuta. Setelah beberapa lama disana, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Bangala hingga kemudian sampai ke Madras.

Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.

Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sulthan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.

Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sulthan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada.

Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sulthan Turki dari sultan Aceh.

Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sulthan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki.

Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sulthan Turki memaklumi hal itu.

Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sulthan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.

Setelah sekitar tiga bulan utusan Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sulthan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-ata perang untuk Sulthan Aceh.

Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam “Lada Sicupak”. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan sebanyak 12 orang Turki ahli militer dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.

Bantuan Turki itu oleh Muhammad Said dihubungkan dengan kisah meriam lada sicupak. Pemberian Turki berupa meriam dan bendera kepada Kerajaan Aceh merupakan bentuk pengakuan Turki bahwa Kerajaan Aceh berada di bawah perlindungan khalifah Islam.

Bantuan Turki kepada Aceh itu bukan saja sebagai bantuan militer belaka, tapi memiliki arti politik yang menjelaskan tentang kedudukan Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam.

Sejarah Meriam Lada Sicupak milik Kerajaan Turki bukti sejarah hubungan Kerajaan Aceh-Turki di masa lalu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama